PERATURAN
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 52 TAHUN 2000
TENTANG
PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang |
bahwa dalam rangka pelaksanaan ketentuan
mengenai penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana diatur dalam
Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang:Telekomunikasi, dipandang perlu
untuk nienetapkan Peraturan Vemerintah tentang Penyelenggaraan
Telekomunikasi; |
Mengingat |
Pasal 5 ayat (2) Undang?Undang Dasar 1945; Undang-undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 154, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3881); |
MEMUTUSKAN
:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH
TENTANG PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI.
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang
dimaksud dengan
1.
Telekomunikasi adalah setiap pemancaran, pengiriman. dan atau penerimaan dari
setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara, dan
bunyi melalui sistem kawat, optik. radio. atau sistem elektromagnetik lainnya;
2.
Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam
bertelekomunikasi;
3.
Perangkat telekomunikasi adalah. sekelompok alat telekomunikasi yang
memungkinkan bertelekomunikasi;
4.
Pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang menggunakan dan memancarkan
gelombang radio;
5.
Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat telekomunikasi dan
kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
6.
Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi kebutuhan
bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunikasi;
7.
Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, badan usaha milik
daerah, badan usaha milik negara, badan usaha swasta, instansi pemerintah, dan
instansi pertahanan keamanan negara;
8.
Penyelenggaraan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan pelayanan
telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
9.
Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau
pelayanan jaringan telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya
telekomunikasi;
10.
Penyelenggaraan jasa telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan atau
pelayanan jasa telekomunikasi yang memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
11.
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang
sifat, peruntukan dan pengoperasiannya khusus;
12.
Interkoneksi adalah keterhubungan antar jaringan telekomunikasi dari
penyelenggara telekomunikasi yang berbeda;
13.
Kewajiban pelayanan universal adalah kewajiban yang dibebankan kepada
penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi untuk
memenuhi aksesibilitas bagi wilayah atau sebagian masyarakat yang belum
terjangkau oleh penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi;
14.
Menteri adalah Menteri yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang
telekomunikasi.
BAB II
PENYELENGGARAAN JARINGAN DAN
JASA TELEKOMUNIKASI
Bagian Pertama
Penyelenggaraan Telekomunikasi
Pasal 2
Penyelenggaraan
telekomunikasi dilaksanakan oleh penyelenggara telekomunikasi.
Pasal 3
Penyelenggaraan
telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi:
a. penyelenggaraan jaringan telekomunikasi;
b.
penyelenggaraan
jasa telekomunikasi;
c.
penyelenggaraan
telekomunikasi khusus.
Pasal 4
Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a dan huruf b dapat dilakukan oleh badan hukum yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu:
a.
Badan Usaha Milik Negara (BUMN);
b.
Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD);
c.
Badan
Usaha Swasta; atau
d.
Koperasi.
Pasal 5
Penyelenggaraan
telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c dapat dilakukan
oleh
a.
Perseorangan;
b.
Instansi pemerintah; atau
c.
Badan
hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi.
Bagian Kedua
Penyelenggaraan jaringan Telekomunikasi
Pasal 6
1.
Dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
huruf a, penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib membangun dan atau
menyediakan jaringan telekomunikasi.
2.
Penyelenggara jaringan telekomunikasi dalam membangun jaringan telekomunikasi
wajib memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
3.
Penyelenggara jaringan telekomunikasi dalam membangun dan atau menyediakan
jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib mengikuti
ketentuan teknis dalam Rencana Dasar Teknis.
4.
Ketentuan mengenai Rencana Dasar Teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 7
Penyelenggara
jaringan telekomunikasi wajib menjamin terselenggaranya telekomunikasi melalui
jaringan yang diselenggarakannya.
Pasal 8
1.
Penyelenggara jaringan telekomunikasi dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi
melalui jaringan yang dimiliki dan disediakannya.
2.
Penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus
merupakan kegiatan usaha yang terpisah dari penyelenggaraan jaringan yang sudah
ada.
3.
Untuk menyelenggarakan jasa sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) penyelenggara
jaringan telekomunikasi wajib mendapatkan izin penyelenggaraan jasa
telekomunikasi dari Menteri.
Pasal 9
1.
Penyelenggaraan jaringan telekomunikasi terdiri dari :
a. penyelenggaraan jaringan tetap;
b. penyelenggaraan
jaringan bergerak.
2.
Penyelenggaraan
jaringan tetap dibedakan dalam
a. penyelenggaraan
jaringan tetap lokal;
b. penyelenggaraan
jaringan tetap sambungan langsung jarak jauh;
c. penyelenggaraan jaringan tetap sambungan internasional;
d. penyelenggaraan
jaringan tetap tertutup.
3.
Penyelenggaraan jaringan bergerak dibedakan dalam
a. penyelenggaraan
jaringan bergerak terestrial;
b. penyelenggaraan
jaringan bergerak seluler;
c. penyelenggaraan
jaringan bergerak satelit.
4.
Ketentuan mengenai tata cara penyelenggaraan jaringan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 10
1.
Penyelenggara jaringan tetap lokal atau penyelenggara jaringan bergerak seluler
atau penyelenggara jaringan bergerak satelit harus, menyelenggarakan jasa
teleponi dasar.
2.
Penyelenggara jaringan tetap lokal dalam menyelenggarakan jasa teleponi dasar
wajib menyelenggarakan jasa telepon umum.
3.
Penyelenggara jaringan tetap lokal dalam menyelenggarakan jasa telepon umum
dapat bekerja sama dengan pihak ketiga.
Pasal 11
1.
Penyelenggara jaringan telekomunikasi dalam menyediakan jaringan telekomunikasi
dapat bekerja sama dengan penyelenggara jaringan telekomunikasi luar negeri
sesuai dengan izin penyelenggaraannya.
2.
Kerja sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dituangkan dalam suatu perjanjian
tertulis.
Pasal 12
Penyelenggara
jaringan telekomunikasi wajib memenuhi setiap permohonan dari calon pelanggan
jaringan telekomunikasi yang telah memenuhi syarat-syarat berlangganan jaringan
telekomunikasi sepanjang jaringan telekomunikasi tersedia.
Bagian Ketiga
Penyelenggaraan jasa Telekomunikasi
Pasal 13
Dalam
penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b,
penyelenggara jasa telekomunikasi menggunakan jaringan telekomunikasi milik
penyelenggara jaringan telekomunikasi.
Pasal 14
1.
Penyelenggaraan jasa telekomunikasi terdiri dari:
a. penyelenggaraan
jasa teleponi dasar;
b. penyelenggaraan
jasa nilai tambah teleponi;
c. penyelenggaraan
jasa multimedia.
2.
Ketentuan mengenai tata cara penyelenggaraan jasa telekomunikasi sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 15
1.
Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyediakan fasilitas telekomunikasi
untuk menjamin kualitas pelayanan jasa telekomunikasi yang baik.
2.
Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memberikan pelayanan yang sama kepada
pengguna jasa telekomunikasi.
3.
Dalam menyediakan fasilitas telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mengikuti ketentuan teknis dalam Rencana
Dasar Teknis.
4.
Ketentuan mengenai Rencana Dasar Teknis sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
diatur Dengan Keputusan Menteri.
Pasal 16
1.
Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mencatat/merekam secara rinci pemakaian
jasa telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna telekomunikasi.
2.
Apabila pengguna memerlukan catatan/rekaman pemakaian jasa telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelenggara telekomunikasi wajib
memberikannya.
Pasal 17
1.
Catatan/rekaman sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 disimpan sekurang-kurangnya
3 (tiga) bulan.
2.
Penyelenggara jasa telekomunikasi berhak memungut biaya atas permintaan
catatan/rekaman pemakaian jasa telekomunikasi.
Pasal 18
1.
Pelanggan jasa telekomunikasi dapat mengadakan sendiri perangkat akses dan
perangkat terminal pelanggan jasa telekomunikasi.
2.
Instalasi perangkat akses di rumah dan atau gedung dapat dilaksanakan oleh
instalatur yang memenuhi persyaratan.
Pasal 19
Penyelenggara
jasa telekomunikasi wajib memenuhi setiap permohonan dari calon pelanggan
telekomunikasi yang telah memenuhi syarat-syarat berlangganan jasa
telekomunikasi sepanjang akses jasa telekomunikasi tersedia.
Bagian Keempat
Interkoneksi Penyelenggaraan jaringan Telekomunikasi
Pasal 20
1.
Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menjamin tersedianya
interkoneksi,
2.
Interkoneksi antar jaringan telekomunikasi dilaksanakan pada titik interkoneksi.
3.
Pelaksanaan interkoneksi oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi diberikan
atas dasar permintaan dari penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
Pasal 21
1.
Penyelenggara jaringan telekomunikasi dilarang melakukan diskriminasi dalam
penyediaan interkoneksi.
2.
Dalam pelaksanaan interkoneksi, penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib
saling memberikan pelayanan yang sesuai dengan tingkat layanan yang disepakati.
Pasal 22
1.
Kesepakatan interkoneksi antar penyelenggara jaringan telekomunikasi harus tidak
saling merugikan dan dituangkan dalam perjanjian tertulis.
2.
Dalam hal tidak tercapai kesepakatan atau terjadi perselisihan antar
penyelenggara jaringan telekomunikasi dalam pelaksanaan interkoneksi, para pihak
dapat meminta penyelesaiannya kepada Menteri.
3.
Upaya penyelesaian oleh Menteri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak
mengurangi hak para pihak untuk melakukan upaya hukum sesuai peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 23
1.
Dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi melalui 2 (dua) penyelenggara
jaringan atau lebih, dikenakan biaya interkoneksi.
2.
Biaya interkoneksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan berdasarkan
perhitungan yang transparan, disepakati bersama dan adil.
3.
Biaya interkoneksi dikenakan kepada penyelenggara jaringan telekomunikasi asal.
4.
Apabila terjadi perbedaan penghitungan besarnya biaya penggunaan interkoneksi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) para penyelenggara jaringan telekomunikasi
dapat melakukan penyelesaian upaya hukum melalui pengadilan atau di luar
pengadilan.
Pasal 24
Ketersambungan
perangkat milik penyelenggara jasa telekomunikasi dengan jaringan telekomunikasi
dilaksanakan secara transparan dan tidak diskriminatif.
Pasal 25
1.
Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi tidak mempunyai hubungan
langsung ke jaringan telekomunikasi di wilayah tujuan di dalam negeri dan atau
luar negeri, penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyalurkan trafik
melalui penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
2.
Penyelenggara jaringan telekomunikasi yang digunakan untuk menyalurkan trafik
berhak untuk mendapatkan bagian biaya interkoneksi yang besarnya disepakati
bersama.
3.
Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berlaku juga dalam hal kapasitas
saluran langsung yang dimiliki penyelenggara jaringan telekomunikasi tidak
mencukupi.
4.
Penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyalurkan kelebihan trafik dari
penyelenggara satu ke penyelenggara jaringan lainnya.
Bagian Kelima
Kewajiban Pelayanan Universal
Pasal 26
1.
Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan penyelenggara jasa telekomunikasi
dikenakan kontribusi kewajiban pelayanan universal.
2.
Kontribusi kewajiban pelayanan universal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berupa:
a. penyediaan
jaringan dan atau jasa telekomunikasi;
b. kontribusi
dalam bentuk komponen biaya interkoneksi; atau
c. kontribusi
lainnya.
Pasal 27
Untuk
pelaksanaan kewajiban pelayanan universal Menteri menetapkan:
a.
wilayah tertentu sebagai wilayah pelayanan universal;
b.
jumlah kapasitas jaringan di setiap wilayah pelayanan universal;
c.
jenis jasa telekomunikasi yang harus disediakan oleh penyelenggara jasa
telekomunikasi di setiap wilayah pelayanan universal;
d.
penyelenggara jaringan telekomunikasi yang ditunjuk untuk menyediakan jaringan
telekomunikasi di wilayah pelayanan universal.
Pasal 28
1.
Kewajiban membangun dan menyelenggarakan jaringan di wilayah pelayanan universal
dibebankan kepada penyelenggara jaringan tetap lokal.
2.
Kontribusi kewajiban pelayanan universal dibebankan kepada penyelenggara
jaringan lainnya yang menyalurkan trafik ke penyelenggara jaringan tetap lokal.
3.
Kontribusi kewajiban pelayanan universal sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilaksanakan dalam bentuk pembayaran komponen biaya interkoneksi yang diterima
oleh penyelenggara jaringan tetap lokal.
4.
Kontribusi kewajiban pelayanan universal lainnya dibebankan
kepada penyelenggara jaringan selain sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2) dan kepada penyelenggara jasa lainnya.
Pasal 29
Setiap
penyelenggara jaringan dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib
melakukan pencatatan atas pendapatan dari hasil kontribusi kewajiban pelayanan
universal yang berasal dari pendapatan interkoneksi.
Pencatatan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) wajib dilaporkan secara berkala kepada
Menteri.
Pasal 30
Ketentuan
mengenai besarnya kontribusi kewajiban pelayanan universal dan tata cara
pelaksanaan kontribusi kewajiban pelayanan universal diatur dengan Keputusan
Menteri.
Pasal 31
Menteri
melaksanakan pengawasan dan pengendalian dalam pelaksanaan kewajiban pelayanan
universal.
Bagian Keenam
Biaya Hak Penyelenggaraan (BHP) Telekomunikasi
Pasal 32
1.
Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi wajib membayar Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi.
2.
Tarif Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah terseri diri.
Pasal 33
Setiap
penyelenggara jaringan atau penyelenggara jasa telekomunikasi yang tidak atau
terlambat membayar Biaya Hak Penyelenggaraan Telekomunikasi dikenakan sanksi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang?undangan yang berlaku.
Bagian Ketujuh
Tarif Penyelenggaraan Telekomunikasi
Pasal 34
1.
Tarif penyelenggaraan telekomunikasi terdiri atas tarif penyelenggaraan jaringan
telekomunikasi dan tarif penyelenggaraan jasa telekomunikasi.
2.
Susunan tarif penyelenggaraan telekomunikasi terdiri atas jenis dan struktur
tarif.
Pasal 35
1.
Jenis tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi terdiri atas :
a. tarif sewa jaringan;
b. biaya interkoneksi.
2.
Jenis tarif penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang disalurkan melalui jaringan
tetap terdiri atas:
a. tarif
jasa teleponi dasar sambungan lokal, sambungan langsung jarak
jauh
(SLJJ), sambungan langsung internasional (SLI).
b. tarif
jasa nilai tambah teleponi;
c. tarif
jasa multimedia.
3.
Jenis tarif penyelenggaraan jasa telekomunikasi yang disalurkan melalui jaringan
bergerak terdiri atas
a. tarif
air-time;
b. tarif
jelajah;
c. tarif
jasa multimedia.
Pasal 36
1.
Struktur tarif penyelenggaraan jaringan telekomunikasi terdiri atas :
a. biaya
akses;
b. biaya
pemakaian;
c. biaya
kontribusi pelayanan universal.
2.
Struktur tarif penyelenggaraan jasa telckomunikasi terdiri atas:
a. biaya
aktivasi;
b. biaya
berlangganan bulanan;
c. biaya
penggunaan;
d. biaya
fasilitas tambahan.
Pasal 37
1.
Besaran tarif ditetapkan berdasarkan formula.
2.
Penetapan formula perhitungan tarif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
berdasarkan biaya.
3.
Ketentuan mengenai formula tarif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur
dengan Keputusan Menteri.
BAB III
PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI KHUSUS
Pasal 38
Penyelenggaraan
telekomunikasi khusus diselenggarakan untuk keperluan:
a.
sendiri;
b.
pertahanan keamanan negara;
c.
penyiaran.
Bagian Kedua
Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus
Untuk Keperluan Sendiri
Pasal 39
Penyelenggaraan
telekomunikasi khusus untuk keperluan sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38 huruf a dilakukan untuk keperluan:
a.
perseorangan;
b.
instansi pemerintah;
c.
dinas khusus;
d.
badan hukum.
Pasal 40
Penyelenggaraan
telekomunikasi khusus untuk keperluan perseorangan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39 huruf a meliputi:
a. amatir
radio;
b. komunikasi
radio antar penduduk.
Pasal 41
1.
Kegiatan amatir radio sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 huruf a digunakan
untuk saling berkomunikasi tentang ilmu pengetahuan, penyelidikan teknis dan
informasi yang berkaitan dengan teknik radio dan elektronika.
2.
Kegiatan amatir radio dapat digunakan untuk penyampaian berita mara bahaya,
bencana alam, pencarian dan pertolongan (SAR).
Pasal 42
1.
Kegiatan komunikasi radio antar penduduk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
huruf b digunakan untuk saling berkomunikasi tentang kegiatan kemasyarakatan.
2.
Kegiatan komunikasi radio antar penduduk dapat diguniakan untuk penyampaian
berita mara bahaya, bencana alam, pencarian dan pertolongan (SAR).
Pasal 43
1.
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan instansi pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 huruf b dilaksanakan oleh instansi
pemerintah untuk mendukung kegiatan pemerintahan.
2.
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan instansi pemerintah dapat
diselenggarakan jika:
a.
keperluannya tidak dapat dipenuhi oleh penyelenggara Jaringan dan atau jasa
telekomunikasi;
b.
lokasi kegiatannya belum terjangkau oleh penyelenggara jaringan dan atau jasa
telekomunikasi; dan atau
c.
kegiatannya memerlukan jaringan telekomunikasi yang tersendiri dan terpisah.
Pasal 44
Penyelenggaraan
telekomunikasi khusus untuk keperluan dinas khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 39 huruf c dilaksanakan oleh instansi pemerintah untuk mendukung kegiatan
dinas yang bersangkutan.
Pasal 45
1.
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan badan hukum sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 huruf d dilaksanakan oleh badan hukum untuk mendukung
kegiatan dan atau usahanya.
2.
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan badan hukum dapat
diselenggarakan jika
a.
keperluannya tidak dapat dipenuhi oleh penyelenggara jaringan dan atau jasa
telekomunikasi;
b.
lokasi kegiatannya belum terjangkau oleh penyclenggara jaringan dan atau jasa
telekomunikasi; dan atau
c.
kegiatannya memerlukan jaringan telekomunikasi yang tersendiri dan terpisah.
Pasal 46
1.
Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi belum dapat menyediakan akses di daerah tertentu, maka
penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf a
dapat menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi
dengan izin Menteri.
2.
Penyelenggara telekomunikasi khusus yang menyelenggarakan jaringan
telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (l)
wajib mengikuti ketentuan-ketentuan mengenai penyelenggaraan jaringan
telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi.
3.
Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi sudah dapat menyediakan akses di daerah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) maka penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud tetap dapat
menyelenggarakan jaringan dan jasa telekomunikasi.
Bagian Ketiga
Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus Untuk
Keperluan Pertahanan Keamanan Negara
Pasal 47
1.
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan keamanan negara
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 huruf b adalah penyelenggaraan
telekomunikasi yang sifat, bentuk dan kegunaannya diperuntukan khusus bagi
keperluan pertahanan keamanan negara yang dilaksanakan oleh Departemen
Pertahanan, Tentara Nasional Indonesia, dan Kepolisian Republik Indonesia.
2.
Ketentuan mengenai tata cara penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk
keperluan pertahanan negara diatur dengan keputusan Menteri yang bertanggung
jawab di bidang pertahanan.
3.
Ketentuan mengenai tata cara penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk
keperluan keamanan negara diatur dengan Keputusan Kepala Kepolisian Republik
Indonesia.
Pasal 48
1.
Pembinaan penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan
negara dilaksanakan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang pertahanan.
2.
Pembinaan penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan keamanan negara
dilaksanakan oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia.
Pasal 49
1.
Dalam keadaan jaringan telekomunikasi yang diselenggarakan oleh penyelenggara
telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan negara belum atau tidak mampu
mendukung kegiatan pertahanan negara penyelenggara telekomunikasi khusus untuk
keperluan pertahanan negara dapat menggunakan atau memanfaatkan penyelenggaraan
telekomunikasi khusus lainnya.
2.
Dalam keadaan jaringan telekomunikasi yang diselenggarakan oleh penyelenggara
telekomunikasi khusus untuk keperluan keamanan negara belum atau tidak mampu
mendukung kegiatan keamanan negara, penyelenggara telekomunikasi khusus untuk
keperluan keamanan negara dapat menggunakan atau memanfaatkan penyelenggaraan
telekomunikasi khusus lainnya.
3.
Dalam penggunaan dan pemanfaatan jaringan dan atau jasa telekomunikasi milik
penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi
lain, penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan negara
wajib mengikuti ketentuan pengunaan jaringan dan atau jasa telekomunikasi yang
berlaku.
4.
Dalam penggunaan dan pemanfaatan jaringan dan atau jasa telekomunikasi milik
penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi
lain, penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan keamanan negara wajib
mengikuti ketentuan pengunaan jaringan dan atau jasa telekomunikasi yang
berlaku.
5.
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara penggunaan dan pemanfaatan sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan bersama oleh Menteri dan menteri yang
bertanggung jawab di bidang pertahanan.
6.
Ketentuan lebih lanjut tentang tata cara penggunaan dan pemanfaatan sebagai mana
dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan bersama oleh Menteri dan Kepala Kepolisian
Republik Indonesia.
Pasal 50
Penyelenggara
telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, Pasal 39, Pasal 40,
Pasal. 41, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 45 dilarang untuk:
a.
menyelenggarakan telekomunikasi di luar peruntukannya;
b.
menyambungkan atau mengadakan interkoneksi dengan jaringan telekomunikasi
lainnya; dan
c.
memungut biaya dalam bentuk apapun atas penggunaan dan atau pengoperasiannya,
kecuali untuk telekomunikasi khusus yang berkenaan dengan ketentuan
internasional yang telah diratifikasi.
Bagian Keempat
Penyelenggaraan Telekomunikasi Khusus
Untuk Keperluan Penyiaran
Pasal 51
Penyelenggaraan
telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
38 huruf c adalah penyelenggaraan telekomunikasi yang sifat, bentuk dan
kegunaannya diperuntukan khusus bagi keperluan penyiaran.
Pasal 52
Penyelenggaraan
telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran dilaksanakan oleh penyelenggara
penyiaran guna memenuhi kegiatan penyiaran.
Pasal 53
1.
Penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran wajib mernbangun
sendiri jaringan sebagai sarana pemancaran dan sarana transmisi untuk keperluan
penyiaran.
2.
Penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran sebagaimana
dimakstud dalam ayat (1) dilarang menyewakan jaringannya kepada penyelenggara
telekomunikasi lainnya.
Pasal 54
1.
Jaringan telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran dapat disambungkan ke
jaringan telekomunikasi lainnya sepanjang digunakan khusus untuk keperluan
penyiaran.
2.
Dalam hal jaringan telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran disambungkan
ke jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), penyelenggara telekomunikasi khusus untuk
keperluan penyiaran wajib mengikuti ketentuan penggunaan jaringan telekomunikasi
dan atau jasa telekomunikasi.
Pasal 55
1.
Untuk penyelenggaraan telekomunikasi diberikan izin melalui tahapan izin prinsip
dan izin penyelenggaraan.
2.
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan perseorangan dan dinas
khusus tidak memerlukan izin prinsip.
3.
Penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan pertahanan keamanan negara
tidak memerlukan izin prinsip dan izin penyelenggaraan.
Pasal 56
1.
Izin prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 ayat (1) diberikan paling lama
3 (tiga) tahun dan dapat diperpanjang.
2.
Perpanjangan izin prinsip sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diberikan hanya
untuk 1 (satu) kali selama 1 (satu) tahun.
3.
Izin prinsip tidak dapat dipindahtangankan.
Pasal 57
1.
Untuk menyelenggarakan jaringan dan atau jasa telekomunikasi, pemohon wajib
mengajukan permohonan izin secara tertulis kepada Menteri.
2.
Dalam mengajukan permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pemohon
wajib memenuhi persyaratan:
a.
berbentuk badan hukum Indonesia yang bergerak di bidang telekomunikasi;
b.
mempunyai kemampuan sumberdana dan sumberdaya manusia di bidang telekomunikasi.
3.
Tata cara pengajuan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 58
1.
Menteri mengumumkan peluang usaha untuk menyelenggarakan jaringan dan atau jasa
telekomunikasi kepada masyarakat secara terbuka.
2.
Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a.
jenis penyelenggaraan;
b.
jumlah penyelenggara;
c.
lokasi dan cakupan penyelenggaraan;
d.
persyaratan dan tata cara permohonan izin;
e.
tempat dan waktu pengajuan permohonan izin;
f.
biaya-biaya yang harus dibayar;
g.
kriteria seleksi dan evaluasi untuk penetapan calon penyelenggara
telekomunikasi.
3.
Pemberian izin untuk penyelenggaraan jaringan dan atau jasa telekomunikasi
dilakukan melalui evaluasi atau seleksi.
4.
Persyaratan permohonan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) huruf d
sekurang-kurangnya terdiri atas
a.
profil perusahaan;
b.
rencana pembangunan jaringan atau jasa;
c.
rencana usaha.
5.
Ketentuan mengenai tata cara evaluasi atau seleksi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3), diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 59
Untuk
menyelenggarakan telekomunikasi khusus, pemohon wajib mengajukan permohonan izin
secara tertulis kepada Menteri.
Pasal 60
1.
Dalam pengajuan permohonan izin telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran,
pemohon wajib memenuhi persyaratan
a.
berbentuk badan hukurn Indonesia yang bergerak di bidang penyiaran;
b.
mempunyai kemampuan sumberdana dan sumberdaya manusia di bidang penyiaran.
2.
Ketentuan mengenai tata cara pengajuan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1),
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 61
1.
Untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan
penyiaran, Menteri mengumumkan peluang usaha dalam menyelenggarakan
telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran kepada masyarakat secara
terbuka.
2.
Pengumuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a.
jumlah penyelenggara;
b.
lokasi dan cakupan penyelenggaraan;
c.
persyaratan dan tata cara permohonan;
d.
tempat dan waktu pengajuan permohonan;
e.
biaya-biaya yang harus dibayar;
f.
kriteria seleksi untuk penetapan calon penyelenggara telekomunikasi.
3.
Penetapan izin penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan penyiaran
dilakukan melalui seleksi.
4.
Ketentuan mengenai tata cara seleksi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur
dengan Keputusan Menteri.
Pasal 62
1.
Izin penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk keperluan perseorangan
dinamakan izin amatir radio dan izin komunikasi radio antar penduduk.
2.
Izin penyelenggaraan telekomunikasi khusus untuk dinas khusus dinamakan izin
stasiun radio
Pasal 63
Izin
penyelenggaraan Telekomunikasi khusus untuk keperluan sendiri oleh badan hukum
yang menggunakan sistem komunikasi radio lingkup terbatas dan sistem komunikasi
radio dari titik ke titik dinamakan izin stasiun radio.
Pasal 64
1.
Menteri dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak
permohonan izin diterima secara lengkap wajib memberikan keputusan mengenai
pemberian atau penolakan izin prinsip.
2.
Apabila dalam jangka waktu 60 (enam puluh) hari kerja Menteri tidak memberikan
keputusan penolakan atau pemberian izin, permohonan izin prinsip dianggap
disetujui.
Pasal 65
1.
Pemegang izin prinsip wajib mengajukan permohonan uji laik operasi untuk sarana
dan prasarana yang telah selesai dibangun kepada lembaga yang berwenang untuk
melaksanakan uji laik operasi.
2.
Ketentuan mengenai tata cara uji laik operasi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 66
Menteri
menerbitkan izin penyelenggaraan telekomunikasi setelah sarana dan prasarana
yang dibangun dinyatakan laik operasi.
Pasal 67
1.
Izin penyelenggaraan telekomunikasi diberikan tanpa batas waktu dan setiap 5
(lima) tahun dilakukan evaluasi.
2.
Terhadap hasil evaluasi yang tidak lagi memenuhi persyaratan sesuai izin yang
telah diberikan, Menteri menerapkan sanksi administrasi.
3.
Ketentuan mengenai tata cara evaluasi sebagaimana dimaksud dalam, ayat (1)
diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 68
1.
Atas kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara telekomunikasi yang menimbulkan
kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan ganti rugi kepada
penyelenggara telekomunikasi.
2.
Penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), kecuali penyelenggara telekomunikasi dapat membuktikan bahwa
kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan dan atau kelalaiannya,
3.
Ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terbatas kepada kerugian langsung
yang diderita atas kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara telekomunikasi.
Pasal 69
1.
Penyelesaian ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dapat dilaksanakan
melalui proses pengadilan atau di luar pengadilan.
2.
Tata cara pengajuan dan penyelesaian ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal 70
1.
Penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak atas ganti rugi sebagai akibat
pemindahan atau perubahan jaringan telekomunikasi karena adanya kegiatan atau
atas permintaan instansi/departemen/lembaga atau pihak lain.
2.
Besarnya ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan dengan
memperhatikan kerugian atas terhentinya kegiatan penyelenggaraan jasa
telekomunikasi pada jaringan telekomunikasi dan berdasarkan kesepakatan para
pihak.
3.
Biaya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menjadi beban dan tanggung jawab
instansi/departemen/lembaga atau pihak lain yang melakukan kegiatan atau
menghendaki adanya pemindahan atau perubahan jaringan telekomunikasi.
BAB VI
PERSYARATAN TEKNIS ALAT DAN
PERANGKAT TELEKOMUNIKASI
Pasal 71
1.
Setiap, alat dan perangkat telekomunikasi yang dibuat, dirakit, dimasukkan,
untuk diperdagangkan dan atau digunakan di wilayah Negara Republik Indonesia
wajib memenuhi persyaratan tenis.
2.
Persyaratan teknis alat dan perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) meliputi persyaratan teknis alat dan perangkat telekomunikasi untuk
keperluan penyelenggaraan jaringan telekomunikasi, penyelenggaraan jasa
telekomunikasi dan penyelenggaraan telekomunikasi khusus.
Pasal 72
Persyaratan
teknis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dimaksudkan dalam rangka:
a.
menjamin keterhubungan dalam jaringan telekomunikasi;
b.
mencegah saling mengganggu antar alat dan perangkat telekomunikasi;
c.
melindungi masyarakat dari kemungkinan kerugian yang ditimbulkan akibat
pemakaian alat dan perangkat telekomunikasi;
d.
mendorong berkembangnya industri, inovasi dan rekayasa teknologi telekomunikasi
nasional.
Pasal 73
1.
Menteri menetapkan persyaratan teknis untuk alat dan perangkat telekomunikasi
yang belum memiliki standar nasional Indonesia setelah memperhatikan
pertimbangan pihak dan instansi terkait.
2.
Persyaratan teknis alat dan perangkat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dirumuskan berdasarkan:
a.
adopsi standar internasional atau standar regional;
b.
adaptasi standar internasional atau standar regional; atau
c.
hasil pengembangan industri, inovasi dan rekayasa teknologi telekomunikasi
nasional.
3.
Persyaratan teknis yang telah ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dapat diusulkan menjadi Standar Nasional Indonesia.
Pasal 74
1.
Menteri menerbitkan sertifikat untuk tipe alat dan perangkat telekomunikasi yang
telah memenuhi persyaratan teknis dan berdasarkan hasil pengujian.
2.
Pengujian alat dan perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan oleh balai uji yang telah memiliki akreditasi dari lembaga yang
berwenang dan ditetapkan oleh Menteri.
3.
Menteri dapat menunjuk balai uji yang telah diakreditasi untuk menerbitkan
sertifikat.
4.
Persyaratan teknis untuk alat dan perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 73 ayat (1) tidak berlaku untuk alat dan perangkat telekomunikasi
yang telah memiliki standar internasional.
5.
Ketentuan mengenai tata cara dan persyaratan penerbitan sertifikat dan pengujian
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) serta jangka waktu berlakunya
sertifikat diatur dengan Keputusan Menteri.
Pasal 75
1.
Menteri dapat melakukan saling pengakuan penerapan persyaratan teknis alat dan
perangkat telekomunikasi dengan negara lain.
2.
Saling pengakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mengikuti ketentuan yang
berlaku.
Pasal 76
1.
Dalam penerapan persyaratan teknis alat dan perang telekomunikasi, dikenakan
biaya sertifikat.
2.
Biaya sertifikat alat dan perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 77
1.
Alat dan perangkat telekomunikasi yang telah memperoleh sertifikat wajib diberi
label.
2.
Ketentuan mengenai label alat dan perangkat telekomunikasi sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) diatur dalam Keputusan Menteri.
BAB VII
PENGAMANAN DAN PERLINDUNGAN
PENYELENGGARAAN TELEKOMUNIKASI
Pasal 78
Jenis
gangguan telekomunikasi terdiri atas:
a.
gangguan fisik yaitu gangguan secara fisik pada jaringan telekomunikasi, sarana
dan prasarana telekomunikasi yang mengakibatkan terganggunya penyelenggaraan
telekomunikasi;
b.
gangguan elektromagnetik yaitu gangguan secara elektromagnetik pada jaringan
telekomunikasi dan atau sarana dan prasarana telekornunikasi yang mengakibatkan
terganggunya penyelenggaraan telekomunikasi.
Pasal 79
Pengamanan
dan perlindungan terhadap penyelenggaraan telekomunikasi dilaksanakan untuk
mengamankan dan melindungi sarana dan prasarana telekomunikasi, jaringan
telekomunikasi, sumber daya manusia dan informasi.
Pasal 80
1.
Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan penyelenggara telekomunikasi khusus
wajib membuat peta dan atau gambar jaringan telekomunikasi yang digunakannya.
2.
Peta dan atau gambar jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
wajib disebarluaskan kepada instansi terkait.
Pasal 81
1.
Penyelenggara jaringan telekomunikasi dan penyelenggara telekomunikasi khusus
wajib memasang tanda-tanda keberadaan jaringan telekomunikasi;
2.
Ketentuan mengenai tanda-tanda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan
Keputusan Menteri.
Pasal 82
Setiap
jaringan telekomunikasi, sarana dan prasarana telekomunikasi harus dilengkapi
dengan sarana pengamanan dan perlindungan agar terhindar dari gangguan
telekomunikasi.
Pasal 83
Penyelenggara
telekomunikasi harus memasang perangkat deteksi dini, perangkat pemantau, dan
perangkat pencegah terjadinya gangguan penyelenggaraan telekomunikasi.
Pasal 84
1.
Instansi pemerintah yang berwenang mengeluarkan izin mendirikan bangunan,
instalasi dan atau prasarana lainnya wajib memperhatikan peta dan atau gambar
jaringan telekomunikasi.
2.
Pihak yang melakukan kegiatan pembangunan atas dasar izin sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) wajib menghindari terjadinya gangguan terhadap penyelenggaraan
telekomunikasi.
Pasal 85
Setiap
orang yang bekerja di lingkungan penyelenggaraan telekomunikasi wajib
mengamankan dan melindungi sarana dan prasarana telekomunikasi maupun informasi
yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi.
Pasal 86
Penyelenggara
telekomunikasi wajib menyediakan, mendidik dan melatih tenaga yang bertugas dan
bertanggung jawab terhadap pengamanan dan perlindungan sarana dan prasarana
telekomunikasi.
Pasal 87
Dalam
hal untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi
dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa
telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas
a.
permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia
untuk tindak pidana tertentu;
b.
permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 88
Permintaan
perekaman informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 disampaikan secara
tertulis dan sah kepada penyelenggara jasa telekomunikasi dengan tembusan kepada
Menteri.
Pasal 89
1.
Permintaan tertulis perekaman informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88
sekurang-kurangnya memuat:
a.
obyek yang direkam;
b.
masa rekaman; dan
c.
periode waktu laporan hasil rekaman.
2.
Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib memenuhi permintaan perekaman informasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) selambat-lambatnya dalam waktu 1 kali 24 jam
terhitung sejak permintaan diterima.
3.
Dalam hal teknis rekaman tidak dimungkinkan, penyelenggara jasa telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) wajib memberitahukan kepada Jaksa Agung,
Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan atau Penyidik.
4.
Pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) disampaikan selambat-lambatnya
6 (enam) jam setelah diterimanya permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
5.
Hasil rekaman informasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) disampaikan secara
rahasia kepada Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian dan atau Penyidik.
BAB VIII
PERAN SERTA MASYARAKAT DI BIDANG
TELEKOMUNIKASI
Pasal 90
1.
Dalam rangka melibatkan peran serta masyarakat dibentuk lembaga peran serta
masyarakat di bidang telekomunikasi.
2.
Lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibentuk berdasarkan konsensus
antara pelaku industri telekomunikasi.
3.
Pembentukan lembaga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaporkan kepada
Menteri.
Pasal 91
1.
Keanggotaan lembaga peran serta masyarakat berasal dari pelaku industri
telekomunikasi yang terdiri dari
a.
asosiasi di bidang usaha telekomunikasi;
b.
asosiasi profesi telekomunikasi;
c.
asosiasi produsen peralatan telekomunikasi;
d.
asosiasi pengguna jaringan dan jasa telekomunikasi; dan
e.
masyarakat intelektual di bidang telekomunikasi.
2.
Kepengurusan lembaga peran serta masyarakat dipilih dan diangkat dari anggota
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
3.
Kepengurusan lembaga peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dikukuhkan oleh Menteri.
4.
Pengukuhan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dilaksanakan setelah
memperhatikan AD/ART lembaga peran serta masyarakat.
Pasal 92
1.
Lembaga peran serta masyarakat di bidang telekomunikasi mempunyai tugas
menyampaikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat mengenai
arah pengembangan pertelekomunikasian dalam rangka penetapan kebijakan,
pengaturan, pengendalian, dan pengawasan di bidang telekomunikasi.
2.
Pemikiran dan pandangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan secara
tertulis kepada pemerintah baik diminta maupun tidak diminta.
3.
Pemerintah harus mempertimbangkan dengan seksama pemikiran dan pandangan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2).
Pasal 93
Lembaga
peran serta masyarakat di bidang telekomunikasi mempunyai fungsi
a.
menghimpun pendapat, pemikiran, dan pandangan masyarakat tentang pengembangan
pertelekomunikasian;
b.
mengkaji dan merumuskan pendapat yang berkembang di masyarakat sebagai bahan
usulan kebijakan dan atau peraturan yang berkaitan dengan pembinaan, pengaturan,
dan penyelenggaraan telekomunikasi.
Pasal 94
1.
Lembaga peran serta masyarakat di bidang telekomunikasi dalam melaksanakan
kegiatannya dibiayai secara swadana.
2.
Lembaga peran serta masyarakat di bidang telekomunikasi memperoleh keuangan dari
sumber-sumber yang sah.
Pasal 95
1.
Pelanggaran terhadap Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 ayat (3), Pasal l0 ayat (2),
Pasal 12, Pasal 15, Pasal 16, Pasal 19, Pasal 20 ayat (1), Pasal 21, Pasal 25
ayat (1), ayat (3),ayat (4), Pasal 26 ayat (1), Pasal 28, Pasal 29, Pasal 32
ayat (1), Pasal.46 ayat (2), Pasal 49 ayat (3), ayat (4), Pasal 50, Pasal 53,
Pasal 54, Pasal 57, Pasal 60, Pasal 65 ayat dikenakan sanksi administrasi berupa
pencabutan izin.
2.
Pencabutan izin sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan setelah
diberikannya peringatan tertulis sebanyak 3 (tiga) kali berturut-turut yang mana
masing-masing peringatan tertulis berlangsung selama 7 (tujuh) hari kerja.
Pasal 96
Pada
saat Peraturan Pemerintah ini berlaku semua peraturan pelaksanaan dari Peraturan
Pemerintah Nomor 37 Tahun 1991 tentang Perlindungan dan Pengamanan
Penyelenggaraan Telekomunikasi, dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1993
tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, masih tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dan atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan Peraturan
Pemerintah ini.
Pasal 97
Dengan
berlakunya Peraturan Pemerintah ini maka:
a.
Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1967 tentang Radio Amatirisme di Indonesia
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1967 Nomor 35., Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2843) jo Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1980 tentang Perubahan
dan Tambahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 1967 tentang Radio
Amatirisme di Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1980
Nomor 30);
b.
Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 1970 tentang Radio Siaran Non Pemerintah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1970 Nomor 75, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 2952);
c.
Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1991 tentang Perlindungan Dan Pengamanan
Penyelenggaraan Telekomunikasi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1991
Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3446);
d.
Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1992 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi
Untuk Keperluan Pertahanan Keamanan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3466);
e.
Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 12, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3514), dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 98
Peraturan
Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal 8 September 2000.
Agar
setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 11 Juli 2000
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ABDURRAHMAN
WAHID
Diundangkan
di Jakarta Pada tanggal l l Juli 2000
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DJOHAN EFFENDI
LEMBARAN
NEGARA REPUBLIK INDONESIA
TAHUN 2000 NOMOR 107
Salinan
sesuai dengan aslinya SEKRETARIAT KABINET Rl
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
I,
Lambock V Nahattands