UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 36 TAHUN 1999
TENTANG
TELEKOMUNIKASI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang |
a | Bahwa tujuan pembangunan nasional adalah untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur yan merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945; |
b | Bahwa penyelenggara telekomunikasi mempunyai arti strategis dalam upaya memperkukuh persatuan dan kesatuaan bangsa,memperlancar kegiatan pemerintahan,mendukung terciptanya tujuan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya,serta meningkatkan hubungan antar bangsa; | |
c | Bahwa pengaruh globalisasi dan perkembangan teknologi telekomunikasi yang sangat pesat telah mengakibatkan perubahan yang mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang tehadap telekomunikasi; | |
d | Bahwa segala sesuatu yan berkaitan dengan perubahan mendasar dalam penyelenggaraan dan cara pandang terhadap telekomunikasi tersebut,perlu dilakukan penataan dan pengaturan kembali penyelenggara telekomunikasi nasional; | |
e | Bahwa sehubungan dengan hal-hal tersebut diatas, maka Undang-undang No.3 tahun 1989 tentang Telekomunikasi dipandang tidak sesuai lagi,sehingga perlu diganti; | |
Mengingat |
Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945; | |
Dengan
Persetujuan
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG TELEKOMUNIKASI
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal
1
Dalam Undang-undang ini yang
dimaksud dengan :
1.
Telekomunikasi adalah setiap pemancar, pengiriman, dan atau penerimaan
dari setiap informasi dalam bentuk tanda-tanda, isyarat, tulisan, gambar, suara,
dan bunyi melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik
lainnya;
2.
Alat telekomunikasi adalah setiap alat perlengkapan yang digunakan dalam
pertelekomunikasian;
3.
Perangkat telekomunikasi adalah sekelompok alat telekomunikasi yang
memungkinkan bertelekomunikasi;
4.
Sarana dan prasarana telekomunikasi adalah segala sesuatu yang
memungkinkan dan mendukung berfungsinya telekomunikasi;
5.
Pemancar radio adalah alat telekomunikasi yang menggunakan dan
memancarkan gelombang radio;
6.
Jaringan telekomunikasi adalah rangkaian perangkat telekomunikasi dan
kelengkapannya yang digunakan dalam bertelekomunikasi;
7.
Jasa telekomunikasi adalah layanan telekomunikasi untuk memenuhi
kebutuhan bertelekomunikasi dengan menggunakan jaringan telekomunikasi;
8.
Penyelenggara telekomunikasi adalah perseorangan, koperasi, Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), badan usaha swasta,
instansi pemerintah, dan instansi pertahanan keamanan negara;
9.
Pelanggan adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang
menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi berdasarkan
kontrak;
10.
Pemakai adalah perseorangan, badan hukum, instansi pemerintah yang
menggunakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi berdasarkan
kontrak;
11.
Pengguna adalah pelanggan dan pemakai;
12.
Penyelenggara telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan pelayanan
telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya telekomunikasi;
13.
Penyelenggara jaringan telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan
pelayanan jaringan telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya
telekomunikasi;
14.
Penyelenggara jasa telekomunikasi adalah kegiatan penyediaan dan
pelayanan jasa telekomunikasi sehingga memungkinkan terselenggaranya
telekomunikasi;
15.
Penyelenggara telekomunikasi khusus adalah penyelenggara telekomunikasi
yang bersifat, peruntukan, dan pengoperasiannya khusus;
16.
Interkoneksi adalah keterhubungan antara jaringan telekomunikasi dari
penyelenggara jaringan telekomunikasi yang berbeda;
17.
Menteri adalah Menteri yang ruang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang telekomunikasi;
Pasal
2
Telekomunikasi diselenggarakan
berdasarkan asas manfaat, adil dan merata, kepastian hukum, keamanan, kemitraan,
etika dan kepercayaan pada diri sendiri.
Pasal
3
Telekomunikasi diselenggarakan
dengan tujuan untuk mendukung persatuan dan kesatuan bangsa, meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata, mendukung kehidupan
ekonomi dan kegiatan pemerintahan, serta meningkatkan hubungan antarbangsa.
Pasal
4
1.
Telekomunikasi dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh
Pemerintah.
2.
Pembinaan telekomunikasi diarahkan untuk meningkatkan penyelenggaraan
telekomunikasi yang meliputi penetapan kebijakan,pengaturan,pengesaan dan
pengendalian.
3.
Dalam penetapan kebijakan, pengaturan, pengawasan dan pengendalian
dibidang telekomunkasi, sebagaimana dimaksud pada ayat (2), terpadu dengan
memperhatikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat serta
perkembangan global.
Pasal
5
1.
Dalam rangka pengembangan dan pembinaan telekomunikasi sebagaimana
dimaksud dalam pasal 4, Pemerintah melibatkan peran serta masyarakat.
2.
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), berupa
menyampaikan pemikiran dan pandangan yang berkembang dalam masyarakat mengenai
arah perkembangan pertelekomunikasian dalam rangka penetapan kebijakan,
pengaturan, pengendalian dan pengawasan di bidang telekomunikasi.
3.
Pelaksanaan peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2),
diselenggarakan oleh lembaga mandiri yang dibentuk untuk maksud tersebut.
4.
Lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) keanggotaannya terdiri dari
asosiasi yang bergerak di bidang telekomunikasi, asosiasi profesi
telekomunikasi, asosiasi produsen peralatan telekomunikasi, asosiasi pengguna
jaringan dan jasa telekomunikasi serta masyarakat intelektual di bidang
telekomunikasi.
5.
Ketentuan mengenai tata cara peran serta masyarakat dan pembentukan
lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
6
Menteri
bertindak sebagai penanggung jawab administrasi telekomunikasi Indonesia.
Pasal
7
1.
Penyelenggara telekomunikasi meliputi :
a. penyelenggara
jaringan telekomunikasi;
b. penyelenggara jasa telekomunikasi;
c. penyelenggara telekomunikasi khusus
2.
Dalam penyelenggaraan
telekomunikasi, diperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a.
b. mengantisipasi
perkembangan teknologi dan tuntutan global;
c. dilakukan
secara profesional dan dapat dipertanggungjawabkan;
d. peran serta
masyarakat.
Pasal
8
1.
Penyelenggara jaringan
telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf
b, dapat dilakukan oleh badan hukum
yang didirikan untuk maksud tersebut berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku,yaitu:
a. Badan Usaha
Milik Negara (BUMN);
b. Badan Usaha
Milik Daerah (BUMD);
c. Badan
usaha swasta; atau
d. Koperasi
2.
Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7
ayat (1) huruf c, dapat dilakukan oleh :
a. perseorangan;
b. instansi
pemerintah;
c. badan
hukum selain penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi.
3.
Ketentuan mengenai penyelenggara telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
9
1.
Penyelenggara jaringan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) dapat menyelenggarakan jasa telekomunikasi.
2.
Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (1) dalam menyelenggarakan jasa telekomunikasi, menggunakan dan atau
menyewa jaringan telekomunikasi milik penyelenggara jaringan telekomunikasi.
3.
Penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
ayat (2) dapat menyelenggarakan telekomunikasi untuk:
a. keperluan sendiri;
b. keperluan
pertahanan dan keamanan negara;
c. keperluan
penyiaran;
4.
Penyelenggara telekomunikaasi khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
huruf a, terdiri dari penyelenggara telekomunikasi untuk keperluan :
a. perseorangan;
b. instansi
pemerintah;
c. dinas
khusus;
d. badan hukum.
5.
Ketentuan mengenai penyelenggara telekomunikasi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Ketiga
Larangan Praktik Monopoli
Pasal
10
1.
Dalam penyelenggaraan telekomunikasi dilarang melakukan kegiatan yang
dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat
di antara penyelenggara telekomunikasi.
2.
Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
11
2.
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dengan memperhatikan :
a. tata
cara yang sederhana;
b. proses
yang transparan, adil,dan tidak diskriminatif; serta
c. penyelesaian
dalam waktu yang singkat.
3.
Ketentuan mengenai perizinan penyelenggara telekomunikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kelima
Hak and Kewajiban Penyelenggara dan Masyarakat
Pasal
12
1.
Dalam rangka pembangunan, pengoperasian, dan atau pemeliharaan jaringan
telekomunikasi, penyelenggara telekomunikasi dapat memanfaatkan atau melintasi
tanah negara dan atau bangunan yang dimiliki atau dikuasai Pemerintah.
2.
Pemanfaatan atau pelintasan tanah negara dan atau bangunan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), berlaku pula terhadap sungai, danau, atau laut, baik
permukaan maupun dasar.
3.
Pembangunan, pengoperasian dan atau pemeliharaan jaringan telekomunikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan
dari instansi pemerintah yang bertanggung jawab dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
13
Penyelenggara telekomunikasi dapat
memanfaatkan atau melintasi tanah dan atau bangunan, pengoperasian atau
pemeliharaan jaringan telekomunikasi setelah terdapat persetujuan diantara para
pihak.
Pasal
14
Setiap pengguna telekomunikasi
mempunyai hak yang sama untuk menggunakan jaringan telekomunikasi dan jasa
telekomunikasi dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
15
1.
Atas kesalahan dan atau kelalaian penyelenggara telekomunikasi yang
menimbulkan kerugian, maka pihak-pihak yang dirugikan berhak mengajukan tuntutan
ganti rugi kepada penyelenggara telekomunikasi.
2.
Penyelenggara telekomunikasi wajib memberikan ganti rugi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), kecuali penyelenggara telekomunikasi dapat membuktikan
bahwa kerugian tersebut bukan diakibatkan oleh kesalahan dan atau kelalaiannya.
3.
Ketentuan mengenai tata cara pengajuan dan penyelesaian ganti rugi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
1.
Setiap penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara
jasa telekomunikasi wajib memberikan kontribusi dalam pelayanan universal.
2.
Kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berbentuk penyediaan sarana dan prasarana telekomunikasi dan atau kompensasi
lain.
3.
Ketentuan kontribusi pelayanan universal sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
17
Penyelenggara jaringan
telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi wajib menyediakan
pelayanan telekomunikasi berdasarkan prinsip:
a.
perlakuan
yang sama dan pelayanan yang sebaik-baiknya bagi semua pengguna;
b.
meningkatkan efisiensi dalam penyelenggaraan telekomunikasi; dan
c.
pemenuhan standar penyediaan sarana dan prasarana.
1.
Penyelenggara jasa telekomunikasi wajib mencatat/merekam secara rinci
pemakaian jasa telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna telekomunikasi
2.
Apabila pengguna memerlukan catatan/rekaman pemakai jasa telekomunikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyelenggara telekomunikasi wajib
memberikannya.
3.
Ketentuan mengenai pencatatan/perekaman pemakai jasa telekomunikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Penyelenggara jaringan
telekomunikasi wajib menjamin kebebasan penggunanya memilih jaringan
telekomunikasi lain untuk pemenuhan kebutuhan telekomunikasi.
Setiap penyelenggara telekomunikasi
wajib memberikan prioritas untuk pengiriman, penyaluran, dan penyampaian
informasi penting yang menyangkut :
a.
keamanan negara;
b.
keselamatan jiwa manusia dan harta benda;
c.
bencana alam;
d.
marabahaya dan atau
e.
wabah penyakit.
Penyelenggara telekomunikasi
dilarang melakukan kegiatan usaha penyelenggaraan telekomunikasi yang
bertentangan dengan kepentingan umum, kesusilaan, keamanan, atau ketertiban
umum.
Setiap orang dilarang melakukan
perbuatan tanpa hak, tidak sah atau memanipulasi :
a.
akses ke jaringan telekomunikasi; dan atau
b.
akses ke jasa telekomunikasi; dan atau
c.
akses ke jaringan telekomunikasi khusus
Pasal
23
1.
Dalam penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan dan jasa telekomunikasi
ditetapkan dan digunakan penomoran
2.
Sistem penomoran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Menteri
Pasal
24
Permintaan penomoran oleh
penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa telekomunikasi
diberikan berdasarkan penomoran sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 23.
Bagian
Ketujuh
Interkoneksi dan biaya Hak Penyelenggaraan
1.
Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi berhak untuk mendapatkan
interkoneksi dari penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
2.
Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi wajib menyediakan
interkoneksi apabila diminta oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi lainnya.
3.
Pelaksanaan hak dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) di lakukan berdasarkan prinsip :
a. pemanfaatan
sumber daya secara efisien;
b. keserasian
sistem dan perangkat telekomunkasi;
c. peningkatan
mutu pelayanan; dan
d. persaingan
sehat yang tidak saling merugikan.
4.
Ketentuan mengenai interkoneksi jaringan telekomunikasi, hak dan
kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) diatur
dengan Peraturan Pemerintah
1.
Setiap penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara jasa
telekomunikasi wajib membayar biaya hak penyelenggara telekomunikasi yang
diambil dari persentase pendapatan.
2.
Ketentuan mengenai biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
27
Susunan tarif penyelenggara
jaringan telekomunikasi dan tarif penyelenggara jasa telekomunikasi di atur
dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
28
Besarnya tarif penyelenggara
jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi ditetapkan oleh
penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi dengan
berdasarkan formula yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Bagian
Kesembilan
Telekomunikasi Khusus
Pasal
30
1.
Dalam hal penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau penyelenggara
jasa telekomunikasi belum dapat menyediakan akses didaerah tertentu,maka
penyelenggara telekomunikasi khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3)
huruf a, dapat menyelenggarakan jaringan telekomunikasi dan atau jasa
telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a dan huruf b
setelah mendapat izin Menteri.
2.
Dalam penyelenggara jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi
sudah dapat menyediakan akses di daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka
penyelengara telekomunikasi khusus dimaksud tetap dapat melakukan
penyelenggaraan jaringan telekomunikasi dan atau jasa telekomunikasi.
3.
Syarat-syarat untuk mendapat izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
31
1.
Dalam keadaan penyelenggara telekomunikasi khusus untuk keperluan
keamanan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (3) huruf b belum atau
tidak mampu mendukung kegiatannya, penyelenggara telekomunikasi khusus dimaksud
dapat menggunakan atau memanfaatkan jaringan telekomunikasi yang dimiliki dan
atau digunakan oleh penyelenggara telekomunikasi lainnya.
2.
Ketentuan lebih lanjut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Bagian
Kesepuluh
Perangkat Telekomunikasi
Spektrum, Frekuensi Radio, dan Orbit Satelit
Pasal
32
2.
Ketentuan mengenai persyaratan teknis perangkat telekomunikasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
33
1.
Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit wajib mendapat izin
Pemerintah.
3.
Pemerintah melakukan pengawasan dan pengendalian penggunaan spektrum
frekuensi radio dan orbit satelit.
4.
Ketentuan penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit satelit yang
digunakan dalam penyelenggaraan telekomunikasi diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
Pasal
34
2.
Penggunaan orbit satelit wajib membayar biaya hak penggunaan orbit
satelit.
3.
Ketentuan mengenai biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
35
1
Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh kapal berbendera asing dari
dan ke wilayah perairan Indonesia dan atau yang dioperasikan diwilayah perairan
Indonesia, tidak diwajibkan memenuhi kewajiban persyaratan teknis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 32
a.
untuk kepentingan negara, Keamanan negara, Keselamatan jiwa manusia dan
harta benda, bencana alam, Keadaan marabahaya, wabah, navigasi, dan keamanan
lalu lintas pelayaran; atau
b.
disambungkan ke jaringan telekomunikasi yang disambungkan oleh
penyelenggara telekomunikasi, atau
c.
merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas
bergerak pelayaran.
3.
Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
36
1.
Perangkat telekomunikasi yang digunakan oleh pesawat udara sipil asing
dari dan ke wilayah udara Indonesia tidak diwajibkan memenuhi persyaratan teknis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32.
a.
untuk kepentingan negara, Keamanan negara, Keselamatan jiwa manusia dan
harta benda, bencana alam, Keadaan marabahaya, wabah, navigasi, dan keselamatan
lalu lintas penerbangan, atau
b.
disambungkan kejaringan telekomunikasi yang dioperasikan oleh
penyelenggara telekomunikasi, atau
c.
merupakan bagian dari sistem komunikasi satelit yang penggunaannya sesuai
dengan ketentuan yang berlaku dalam penyelenggaraan telekomunikasi dinas
bergerak penerbangan.
3.
Ketentuan mengenai penggunaan spektrum frekuensi radio sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
37
Pemberian izin penggunaan perangkat
telekomunikasi yang menggunakan spektrum frekuensi radio untuk perwakilan
diplomatik di Indonesia dilakukan dengan memperhatikan asas timbal balik.
Bagian
Kesebelas
Pengamanan Telekomunikasi
Setiap orang dilarang melakukan
perbuatan yang dapat menimbulkan gangguan fisik dan elektromagnetik terhadap
penyelenggara telekomunikasi.
Pasal
39
1.
Penyelenggara telekomunikasi wajib melakukan pengamanan dan perlindungan
terhadap instalasi dalam jaringan telekomunikasi yang digunakan untuk
penyelenggaraan telekomunikasi.
2.
Ketentuan pengamanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Setiap orang dilarang melakukan
kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui telekomunikasi dalam
bentuk apapun.
Pasal
41
Dalam rangka pembuktian kebenaran
pemakaian fasilitas telekomunikasi atas permintaan pengguna jasa telekomunikasi,
penyelenggara jasa telekomunikasi wajib melakukan perekaman pemakaian fasilitas
telekomunikasi yang digunakan oleh pengguna jasa telekomunikasi dan dapat
melakukan perekaman informasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Pasal
42
2.
Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara telekomunikasi
dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa
telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas :
a.
permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik
Indonesia untuk tindak pidana tertentu.
b.
permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan
Undang-undang yang berlaku.
3.
Ketentuan mengenai tata cara perekaman dan permintaan rekaman informasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal
43
Pemberian rekaman informasi oleh
penyelenggara jasa telekomunikasi kepada pengguna jasa telekomunikasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 dan untuk kepentingan proses peradilan
pidana sebagaiman dimaksud dalam Pasal 42 ayat(2) tidak merupakan pelanggaran
Pasal 40.
Pasal
44
1.
Selain penyidik Pejabat Polisi Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai
Negeri Sipil tertentu dilingkungan Departemen yang lingkup tugas dan tanggung
jawabnya dibidang telekomunikasi, diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana untuk melakukan
penyidikan tindak pidana dibidang telekomunikasi.
2.
Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang :
a.
melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan
dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
b.
melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga
melakukan tindak pidana dibidang telekomunikasi.
c.
menghentikan penggunaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang
menyimpang dari ketentuan yang berlaku.
d.
memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai saksi atau
tersangka.
e.
melakukan pemeriksaan alat dan atau perangkat telekomunikasi yang diduga
digunakan atau diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang telekomunikasi.
f.
menggeledah tempat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang
telekomunikasi.
g.
menyegel dan atau menyita alat dan atau perangkat telekomunikasi yang
digunakan atau yang diduga berkaitan dengan tindak pidana di bidang
telekomunikasi.
h.
meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak
pidana di bidang telekomunikasi.
i.
mengadakan penghentian penyidikan.
3.
Kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan
sesuai dengan Undang-undang Hukum Acara Pidana.
Pasal
45
Barang siapa melanggar ketentuan Pasal
16 ayat (1), Pasal 18 ayat (2), pasal
19, pasal 21, Pasal 25 ayat (2),
Pasal
26 ayat (1), Pasal 29 ayat (1), Pasal 29 ayat (2),
Pasal 33 ayat (1), Pasal 33
ayat (2), Pasal 34 ayat (1), Pasal 34 ayat (2) dikenai sanksi administrasi.
Pasal
46
1.
Sanksi administrasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 berupa pencabutan
izin.
2.
Pencabutan izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah
diberi peringatan tertulis.
Barang siapa yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1),
dipidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus
juta rupiah).
Penyelenggara jaringan
telekomunikasi yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling
banyak Rp 100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Penyelenggara telekomunikasi yang
melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20,
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp 200.000.000,00
(dua ratus juta rupiah).
Barang siapa yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam
ratus juta rupiah).
Penyelenggara komunikasi khusus
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (1)
atau Pasal
29 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan atau
denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Barang siapa memperdagangkan,
membuat, merakit, memasukan atau menggunakan perangkat telekomunikasi di wilayah
Negara Republik Indonesia yang tidak sesuai dengan persyaratan teknis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 1 (satu) tahun dan atau denda paling banyak Rp 100.000.000,00
(seratus juta rupiah).
1.
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat
(1) atau Pasal 33 ayat (2) dipidana dengan penjara pidana paling lama 4 (empat)
tahun dan atau denda paling banyak Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
2.
Apabila tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan
matinya seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun.
Barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2) atau Pasal 36 Ayat
(2), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua raatus juta rupiah).
Barang siapa melanggar ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6
(enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
Barang siapa yang melanggar
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40, dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun.
Penyelenggara jasa telekomunikasi
yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat
(1), dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan atau denda paling banyak Rp
200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal
58
Alat dan perangkat telekomunikasi
yang digunakan dalam tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal
47, Pasal 48, Pasal 52, atau
Pasal 56 dirampas oleh negara dan atau dimusnahkan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal
59
Perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 47, Pasal 48, Pasal
49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal
52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal
55, Pasal 56, dan Pasal 57 adalah kejahatan.
Pasal
60
Pada saat berlakunya Undang-undang
ini, penyelenggara telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang
Nomor 3 Tahun 1989 tentang telekomunikasi, tetap dapat menjalankan kegiatannya
dengan ketentuan dalam waktu selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak
Undang-undang ini dinyatakan berlaku wajib menyesuaikan dengan Undang-undang
ini.
Pasal
61
1.
Dengan berlakunya Undang-undang ini, hak-hak tertentu yang telah diberikan
oleh Pemerintah kepada Badan Penyelenggara untuk jangka waktu tertentu
berdasarkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 masih berlaku.
2.
Jangka waktu tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dapat
dipersingkat sesuai dengan kesepakatan antara Pemerintah dengan Badan
Penyelenggara.
Pasal
62
Pada saat Undang-undang ini
berlaku, semua peraturan pelaksanaan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang
telekomunikasi (Lembaran Negara Tahun 1989 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3391) masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan atau belum
diganti dengan peraturan baru berdasarkan Undang-undang ini.
Pasal
63
Dengan berlakunya Undang-undang
ini, Undang-undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang telekomunikasi dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal
64
Undang-undang ini berlaku 1 (satu)
tahun terhitung sejak tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan mengundangkan Undang-undang ini
dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 8 September 1999
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE