Strategi Migrasi Microwave Link Dari 2.4GHz & 5GHz Onno W. Purbo Rakyat Indonesia Biasa Teknologi Internet wireless pada frekuensi 2.4GHz & 5GHz tidak dapat diragukan lagi merupakan alternatif nyata bagi penetrasi Internet broadband di Indonesia. Dengan total instalasi sekitar 200-300 instalasi per bulan di akhir tahun 2003 menjadikannya primadona bagi banyak solusi Internet, IntraNet maupun ExtraNet. Sialnya regulator belum mau juga membebaskan frekuensi 2.4GHz dan 5GHz untuk di gunakan keperluan InterNet dan ExtraNet. POSTEL masih memaksa pembayaran biaya hak penggunaan frekuensi yang besarnya Rp. 2.7 juta / access point. Sialnya lagi, yang dapat memohon ijin penggunaan frekuensi 2.4GHz hanya Internet Servis Provider (ISP). Itupun harus dilakukan di Jakarta, artinya ISP di Samarinda, Makassar, Jayapura harus mengerluarkan ongkos pesawat mendekati Rp. 2 juta untuk memperoleh ijin frekuensi tsb. Non-ISP seperti WARNET, kantor, RT/RW-net, anda harap gigit jari karena regulator agak picik masalah ini. Salah satu momok yang menjadi penghalang pembebasan frekuensi 2.4GHz dan 5GHz adalah keberadaan instalasi sambungan microwave komuinikasi pada pita frekuensi tersebut. Mereka adalah pembayar Biaya Hak Penggunaan Frekuensi (BHP) selama ini. Tidak banyak sebetulnya BHP yang dibayarkan, bagi sambungan microwave kelas Telkom yang mengambil bandwidth 20MHz dengan daya rata-rata sekitar 40dBm harus membayar BHP sekitar Rp. 7.5-8 juta / tahun. Artinya, jumlah sambungan microwave 2.4GHz yang ada sekitar 2900+ sambungan, hanya menghasilkan sekitar Rp. 22 Milyar/tahun bagi POSTEL. Tantangan pertama yang harus dapat dijawab komunitas adalah, jika negara Indonesia menginginkan perolehan uang yang sama jumlahnya. Artinya, pengguna wireless Internet harus mampu memasukan dana minimal Rp. 22 milyar/tahun bagi kantong pemerintah. Padahal jika di bebaskan 2.4GHz & 5GHz, estimasi masukan ke kas negara yang diperoleh dari BHP Jasa Telekomunikasi adalah Rp. 21 milyar/tahun, PPh Jasa Internet Rp. 128 milyard/tahun. Jelas bahwa BHP sambungan microwave yang hanya Rp. 22 Milyard/tahun tidak ada artinya. Tantangan selanjutnya yang harus dapat di jawab adalah bagaimana "mengusir" sambungan microwave yang ada ke band lain. Etika yang ada, biasanya pendatang baru yang ingin menduduki sebuah band harus menanggung biaya pemindahan / migrasi peralatan dari pengguna lama ke band yang lain. Dengan sedikit over estimate, biaya migrasi per sambungan microwave adalah sekitar US$24.000/sambungan (atau harga per node adalah sekitar US$12.000). Artinya untuk me-migrasi 2900+ sambungan microwave dibutuhkan total biaya sekitar Rp. 626 Milyar. Secara realistis, tidak mungkin mengharapkan pengguna Wireless Internet 2.4GHz & 5GHz menalangi. Biaya tersebut harus dapat di talangi dari berbagai masukan dana yang ada. Ada beberapa alternatif strategi yang dapat digunakan untuk "mengusir" sambungan microwave yang ada. Hal yang pasti terjadi, dengan pembebasan frekuensi 2.4GHz & 5GHz akan meningkatkan investasi peralatan sekitar 6500-an access point, 150.000-an node wireless client dan 2 juta-an komputer dalam selang waktu 2-4 tahun. Alternatif pertama, semua investasi tersebut karena pembebasan 2.4GHz & 5GHz akan menghasilkan PPN investasi sekitar Rp. 600 milyard, disamping BHP Jasa Telekomunikasi Rp. 21 Milyar dan PPh Jasa Internet Rp. 128 milyar/tahun. Jika regulator komunikasi & departemen keuangan mau berdamai, maka bisa biaya kompensasi operator yang harus memigrasi peralatannya dapat dihitung sebagai pajak negara. Pada prakteknya alternatif ini paling mudah secara perhitungan finansial, tapi dijamin sukar dilakukan karena departemen keuangan terutama dirjen pajak kemungkin besar tidak suka sumber uangnya di ambil untuk mengkompensasi migrasi tersebut. Alternatif ke dua, pembebasan BHP frekuensi bagi operator microwave link yang harus di migrasi peralatannya sebagai kompensasi biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan migrasi. Artinya jika total biaya migrasi adalah Rp. 626 Milyar, sedang BHP frekuensi adalah Rp. 22 Milyar, maka pembebasan BHP frekuensi akan membutuhkan waktu 29 tahun. Alternatif ini jauh lebih mudah untuk di implementasikan karena hanya mengkaitkan operator dan regulator saja. Alternatif ke tiga, sebagian operator sambungan microwave link tersebut adalah penyelenggara jaringan telekomunikasi seperti DIVRE PT. Telkom. Karena umumnya penyelenggara jaringan telekomunikasi mempunyai beberapa lini usaha, bisa saja perhitungan kompensasi migrasi sambungan microwave di perhitungkan dengan pembebasan BHP berbagai jasa telkomunikasi. Jika hal ini dilakukan maka tidak mustahil proses kompensasi dapat dilakukan dalam waktu beberapa tahun saja. Alternatif ini lebih mudah dilakukan karena memakan waktu jauh lebih singkat, dan hanya mengkaitkan beberapa entitas internal industri telekomunikasi saja. Alternatif ke empat, pembebasan frekuensi 2.4GHz & 5GHz akan mengenerate pemasukan BHP Jasa Telekomunikasi yang besarnya mendekati Rp. 124 milyar per tahun. Jika terpaksa karena ingin mempercepat proses kompensasi migrasi, dapat saja sebetulnya regulator telekomunikasi memberikan uang masuk dari BHP Jasa Telekomunikasi yang dihasilkan dari komunitas pengguna kepada operator yang di "usir" tersebut. Itu adalah beberapa alternatif strategi mengusir sambungan microwave untuk membebaskan frekuensi 2.4GHz & 5GHz agar dapat digunakan bagi pembangunan penetrasi Internet bangsa Indonesia. Alternatif lain, tidak memberikan ijin, tidak memperpanjang ijin frekuensi untuk peralatan microwave link yang ada. Dan mengharuskan microwave link untuk bermigrasi ke band yang lain dalam selang waktu tertentu, sekitar 3-5 tahun. Tapi semua akhirnya terpulang kepada niat baik dan tulus pemerintah itu sendiri, apakah ingin secara serius meningkatkan penetrasi internet? Apakah regulator telekomunikasi mau berfikir? Mau melakukan berbagai negosiasi? Apakah rela mengencangkan ikat pinggang selama beberapa saat karena tidak memperoleh BHP? Apakah berani meng "usir" operator sambungan microwave yang di dominasi oleh Telkom dan rekan-rekannya? Sanggup? Hmmm mohon di ingat bahwa rakyat menggaji anda untuk itu.